
A. Ekosistem Budaya di Glagahdowo
Malang, //www.buserindonesia.id || Adalah Dusun Glagah Dodowo di Desa Pulungdowo pada Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang, yang dalam lintas generasi mewariskan budaya tradisional Jawa, utamanya kesenian tradisional. Desa di lembah Semeru dan sekaligus Tengger ini konon sangat dinenal sebagai kantong kesenian topeng. Para maestro kesenian “Topeng Malang”, seperti alamarhum Mbah Gimun, Rasimun, Jakimin serta Tris, menjadi perintis dan pengembang kesenian Topeng di dusun agaris Glagahdowo, Unsur toponimi “glagah” maupun “pulung” menunjuk pada rerumputan besar, yakni tebu, karena pelanggan di areal ini dominan untuk budidaya tanaman tebu.

Dusun Glagahdowo bertetangga dengan Pajaran, desa bersejarah yang keberadaannya telah disebut pada prasasti tembaga (tamraprasasti) Pabanyolan (Gubug Klakah) dari era Majapahit, dengan sebutan “Dapur Pajaran”. Pajaran” afalah kata jadian, yang berkata dasa “ajar (pa-ajar-an)”, lantaran adanya mandalakadewagurwan dan sekaligus pertapaan (dapur). Candi Kidal di Desa Rejokidal berada tak jauh dari Glagahdowo Selain itu bertetangga dengan desa kesenian Wangkal dan Ngingit. Boleh dibilang ekosistem budaya (kesenian) terbilang kental di Glagahdowo dan sekitarnya, dari masa ke masa, sejak Masa Hindu-Buddha.
Kesenian wayang topeng, mocopat, jaranan hingga pencak dulu hingga kini hadir kuat di sini. Demikian pula kesenian jaranan dan bantengan marak hadir di sini. Satu set topeng arkais malahan masih keda- patan di Desa Wangkal, padamana seniman topeng legendaris, yakni Pak Item (Kasimun), pernah ting- gal menetap beberapa lama dan menjadi “pembelajar” kesenian.
Baca Juga : Tiket Final Piala Dunia FIFA U-17 Habis Terjual, Ini Pesan Polda Jateng Untuk Penonton
Gunung, Radium maupun Jakimin adalah para murid (susya) dari Mbah Item, yang turut berkontribusi bagi terbentuknya “topeng klasik” di Malangraya. Wayang topeng Malang pada Dusun Glagahdowo pernah berjaya sekitar 1920-an hingga 1942, lantas 1948 hingga 1970-an. Selain disajikan sebagai hiburan, Wayang Topeng Glagah Dowo konon acap ditanggap pentas di lingkungan sub-etnik Tengger manakala menyelenggarakan hajatan.
Warga Tengger tidak menanggap wayang kulit, karena mereka percaya bahwa Tengger berada dekat dengan “alam Kedewan”. Bila menanggap Wayang Kulit Purwa yang menghadirkan tokoh peran para Dewata, maka Dewa-Dewa yang berada di Gunung Bromo akan murka. Oleh karenanya mereka lebih memilih wayang topeng, baik untuk keperluan hiburan ataupun untuk hajatan khusus yang disebut “ruwatan”. Wayang topeng dapat juga dijadikan sebagai “penggerak” bagi kesenian tradisional lain, seperti : Ludruk Malangan, Wayang Kulit Malangan dan tayub Malangan. Hal ini mengingat bahwa di dalam wayang topeng terpadu bermacam anasir seni tari, suara, musik, lukis dan seni pahat.

B. Urgensi Revitalisasi Seni-Budaya Glagahdowo
Kini, ketika di tempat-tempat lain sanggar baru bermunculan, demikian pula sebagian sanggar lama kembali tampil, tiba saatnya Glagahdowo kembali menguat sebagai “pilar” Wayang Topeng Malang. Partisipasi baik warga setempat maupun uluran tangan pegiat seni dari luar daerah amat dibutuhkan bagi “menguatnya kembali (revitalisasi)” basis Wayang Topeng Malang pada Dusun Glagahdowo Desa Pulungdowo.Ibarat pasca Pralaya pada Masa Kaliyuga, maka perlu dibangun dunia baru dengan memanfaatkan “abu” dunia lama, yakni untuk kembali memasuki Zaman Emas (diistilahi “Kretayuga/Satyayuga”).
Pada Desa Pulungdowo terdapat dua sanggar tari, yaitu : (1) Cokro Buwono, sanggar milik Ika Wahyu Widyawati, S.Pd, M.Pd. berdiri pada tahun 2009, diresmikan oleh Bupati Malang pada tahun 2011; dan (2) Setyo Utomo, yang didirikan oleh Utomo tahun 2000. Utomo yang akrab disapa “Cak Ut” sejak lama berkecimpung di dalam dunia seni, antara lain melatih tari, membuat topeng hingga busana wayang topeng. Selain itu, terdapat juga sanggar tari jaranan, kegiatan mocopatan.
Baca Juga : Perlunya Memperluas Pasar Ekspor Tak Hanya ke Cina, India, dan Amerika Serikat
Yang tak kalah penting, terdapat seorang “maestro sinden” bagi pertunjukan wayang topeng, wayang kulit maupun jaranan, serta dalam Macopatan, yakni Bu Sumianah (juga dikenal dengan “bu manah”) istri almarhumah Pak Tris. Dalang muda Wayang beber Pacitan, yakni Abunawas Wicaksono (Ganjar)”, yang tiada lain berasal dari Dusun Glagahdowo (putra bungsu pak almahumah Pak Tris), adalah pula aset kultural.
Kerajinan yang terdapat di desa ini antara lain adalah anyam bambu, pande besi dan pembuatan bata. Ritus upacara pertanian dan sadranan ke Punden Desa/Dusun terbilang masih kuat pada kehidupan warga di Glagahdowo yang sebagian adalah para pemangku “Budaya Aboge”. Walaupun kini banyak warganya yang menjadi muslim taat, namun tidak berarti ada penolakan terhadap kesenian tradisional yang nota bene adalah adalah “budaya lama yang mentradisi”.

Berkesenian adalah hablum minnanas, hubungan antar manusia dalam sektor budaya. Dalam hal demikian, cukup alasan untuk menjadijan Dusun Glagahdowo di Desa Pulungdowo sebagai “Desa Berhulu Budaya”. Mustinya di dalam desa yang menyimpan potensi laten kesenian, kerajinan, sejarah, dan ragam tradisi budaya ini, “kebudayaan dimajukan” dengan menjadikan warga desanya sebagai basis pemanuannya.
C. Revitalisasi Kesenian di Glagahdowo Melalui Gerakan “Santri Mbudoyo”
Salah satu ikhtiar untuk merevitalisasi kesenian dusun dalam melalui “pembelajaran budaya”. Bu- kankan prasasti Pabanyolan telah mengisyaratkan adanya tempat belajar (Pajaran) di Dapur Pajaran (kini Desa Pajaran), tetangga Desa Pulungdowo. Salah satu mata ajarnya adalah dalam bidang su- sastra yang berkenaan dengan Budaya Panji.
Hal itu tergambar pada isi prasasti, yang memuat sinopsis misah Panji. Bukan tidak mungkin, kala Majapahit itu di Pajaran juga telah terdapat kesenian yang melakonkan kisah Panji, sebagainya tradisi di Malang Timur (Gagrak Tengger-Semeru) yang menjadikan lakon-lakin Panji sebagai kisah utama dalam pertunjukan wayang topengnya. Tradisi pembelajaran kesenian topeng berlakin Panji kembali terjadi pada era Pak Item (Kasikun) di Desa Wabgjal, yang konon menjadi guru seni bagi warga kampung di sub-area timur Kabupaten Malang.

Sesuai dengan atas itu, pada Peringatan “Hari Santri” di Dusun Glagahdowo ini, warga selenggarakan saresehan seni bertajuk “Santri Mbudodo”. Sebutan ini menurut saya memiliki dua arti : (1) para santri yang kuat dalam berbudaya, dan (2) pembelajaran budaya. Pada arti terakhir, kata “santri” menunjuk kepada : siswa, yakni orang yang sedang belajar mengenai agama dan kehidupan duniawi yang se- Laras dengan ajaran agama Islam.
Santri adalah murid, siswa, atau yang sebutan arkaisnya adalah “susya”. Pesantren adalah tempat pembelajaran, padamana para santri menuntut ilmu. Salah satu ilmu yang dipejarai dalam pesantren adalah ilmu budaya, termasuk di dalamnya kesenian, semacam “pesantren budaya”. Prasasti Pabanyolan memberi kita teladan, meski Pajaran adalah areal keagamaan tepat patapan (disebut “dapur”) yang berada tak jauh dari Candi Kidal, namun para susyya (siswa)-nya tak melulu belajar keagamaan, namun juga dalam berkesenian.
Marilah kembali bangkit, mangukuhkan ketahanan (kekukuhan) budaya dusun termasuk kesenian dusun. Warga Dusun Glagahdowo musti bergegas cancut taliwindo mengiringi pergerakan kesenian yang belakangan ini marak tumbuh berkembang di sub-area timur Malang. Demikianlah pengharapan kedepan dari saya sebagai “orang luar” yang memimpikan adanya kebangkitan dan kejayaan kem- bali seni-budaya di Dusun Glagahdowo pada Desa Pulungdowo. Semoga membuahkan kebuktian kelak (pakabhktihi). Nuwun.
Pewarta : Buser Indonesia/Citralekha

#selamatpagiindonesia #selamatpagibuserindonesia #buserindonesia.id #buserindonesia #infoterkinibuser #beritabuser #infobuser #infoterkinibuserindonesia #beritaindonesia